Menolak Bala Hingga ke Ujung Pulau 
Sumber: 
Laporan M FADLI, Kubu
m-fadli@riaupos.com

 
Tulisan Muhammad Fadhli yang berjudul “Melihat Tradisi Atib Ambai di Kecamatan Kubu, Menolak Bala Hingga Ke Ujung Pulau” berhasil menyabet penghargaan Jurnalistik Budaya Pilihan Sagang 2012.
 
Masyarakat Kubu kukuh mempertahankan tradisi Atib dari generasi ke generasi. Tradisi ini merupakan simbol menolak bala hingga ke laut. Sebuah ritual yang otentik dan tak silau karena peluang materi.


MENUJU Kampung Kubu bukanlah sebuah perjalanan yang romantis meskipun bukan tragis sepenuhnya. Jika di atas kertas, Kubu bisa dicapai dari ibu kota Rokan Hilir (Rohil), Bagansiapiapi hanya dalam waktu tiga jam. Kenyataannya, kondisi jalan yang ada jauh dari yang dibayangkan. Satu jam dari Bagansiapiapi hingga Simpang Poros, Kecamatan Bangko Pusako dipenuhi dengan jalan bergelombang, turun naik.

Kondisi permukaan tanah yang tak rata karena pengerjaan jalan yang tergesa-gesa, mengakibatkan jalan rusak lebih cepat sebelum waktunya. Melewati area Polsek Bangko Pusako, hingga ke Kubu jalan rusak semakin banyak. Lubang di sana sini, permukaan aspal mengelupas bahkan pada beberapa ruas jalan seolah terpenggal dan menciptakan parit-parit kecil tergenang air.

Namun berbekal kontak dengan Abu Khoiri, anggota DPRD Rohil yang turut berpartisipasi penuh pada kegiatan tersebut, Riau Pos tiba perkampungan yang dituju. Setibanya di lokasi kegiatan atib (Ratib) lantunan Lailahaillah seketika mengema dari ruangan makam yang didominasi cat warna kuning, begitu khalifah Azwar mengawali atib atau bacaan zikir. Puji-pujian kepada Allah ini diikuti dengan gerakan kepala menoleh ke kiri dan ke kanan secara beraturan. Puluhan pria dan para khalifah tarekat Naqsyabandiyah-berkopiah putih dan bersorban, ikut larut dalam lafal zikrullah yang sama.

Dalam hitungan menit demi menit, waktu menjadi lamban bergerak. Keheningan mulai datang, dan terdengar selanjutnya hanyalah gumaman ratusan kali pengulangan zikir seperti dengungan lebah. Bagi yang tak terbiasa dengan hal itu, zikir bertalu ini bisa mengetarkan hati dan membuat bulu roma mengidik. Seolah ada nuansa magis, namun sebenarnya tidaklah demikian. Kegiatan ini merupakan sebuah warisan tradisi dari leluhur, sebuah tradisi yang senafas dengan ajaran Islam.

‘’Tapi bukanlah ritual keagamaan atau ibadah. Jadi aspek yang ingin kita gali adalah bagaimana mempertahankan budaya dengan baik,” kata H Samuel Matwafa (66) dalam sambutannya, setengah jam sebelum atib dimulai.

Penegasan ini penting guna menghindari tumbuhnya bias pemahaman bagi pihak tertentu yang kontra, dan menganggap ritual tersebut bisa menjurus pada tindakan syirik.

Lantunan gema atip secara resmi mengawali prosesi kegiatan budaya Atib Ambai tahun 1432 Hijriyah bertepatan dengan 2011 Miladiyah di Kecamatan Kubu. Melihat, mengamati dan ikut merasakan nuansa budaya berbalut semangat Islamiyah di dalamnya, melupakan Riau Pos pada tantangan dan kesulitan menjangkau kecamatan yang dulunya dikenal dengan nama sungai Baung ini.

Riau Pos berkesempatan menyaksikan lebih dekat pelaksanaan kegiatan tahunan. Karena kegiatan ini merupakan agenda wajib masyarakat Kubu. Untuk melihat langsung Riau Pos menumpang menumpangi but (boat) yang sama dengan Aboy, begitu anggota legislatif tersebut biasa dipanggil-di dalam perahu mesin mengandalkan Dompeng 12 HP (Horse Power).

Tamasya zikir ini sesungguhnya dimulai dari kawasan Simpang Pelita, samping Masjid Al Falah. Dan harus melewati sungai dalam jarak tempuh selama setengah jam menuju Sungai Ambai. Kecepatan but yang hanya 40-an kilometer per jam atau kurang dari itu. Semakin lamban mengingat tekong (pengemudi but) melaju dengan santai karena puluhan but turut beriringan, ikut menyusuri sungai dengan tujuan yang sama.

Air sungai yang hitam pekat, mempesona puluhan remaja untuk bekuncah (mandi berenang) sambil melompat dari atap perahu. Sementara itu, puluhan ekor kera (monyet) tidak merasa terganggu dengan kedatangan ratusan orang. Bukannya menghindar, kebanyakan kera mendatangi penziarah dan mengharap dilempari makanan. “Makamnya diperkirakan di situ,” tunjuk Aboy pada sebuah pondok. “Namun tidak dipastikan karena tanah badannya hilang,” kata Aboy lagi.

Ia mengeluhkan kawasan makam yang dulunya rindang dan sejuk sudah semakin panas karena banyak pohon sudah ditebangi untuk penanaman sawit. Apa yang menjadi budaya pada hari itu, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Riwayat panjang historis, romantika orang Kubu menyangkut banyak persfektif. Jejak rekam religiusitas, berpadu padan dengan adat, serta historis. “Sejarah penting untuk diingat, karena disanalah kita berpijak,” kata Samuel.

Syahdan, pada tahun 1667 di buka sebuah perkampungan bernama Sungai Baung, salah satu kawasan di Kubu kini oleh orang besar negeri Rawa Padang Nemang, Sumatera Barat yang diketuai oleh Datuk Raja Hitam. Keturunannya belakangan disebut Suku Rawa. 45 Tahun kemudian, perkampungan tersebut didatangi pengembara dari Semenanjung Malaysia yang dipimpin oleh Datuk Gapa, keturunannya belakangan disebut suku Hamba Raja.

Pada tahun 1767, datang lagi kelompok masyarakat dari Sulawesi, orang bersuku Rawu yang digelari Datuk Paduka. Selanjutnya bertambah juga satu suku, yaitu Datuk Bangsawan Bungku. Sejak itu jumlah kesukuan di Kubu lengkap menjadi empat suku.

Pada periode itu datang ulama dari Aceh bernama Teuku Abdullah Pasai. Semasa hidupnya, ulama kharismatik ini mengabdikan diri mengembangkan agama berkarakter sufisme. Sembilan tahun di Kubu, ulama ini wafat dan dikuburkan di daerah tersebut. Tahun-tahun berlalu mengakibatkan ajaran yang disampaikan sang Teuku dilupakan, bahkan kuburannya pun tidak terurus sama sekali dan hilang.

Tahun 1888, tuan guru Besilam, tuan Guru Abdul Wahab Rokan Alkhalidy An Naqsyabandi mengutus salah seorang menantunya bernama H Abdul Fattah untuk ziarah ke makam ulama Teuku. Namun ditempat yang disebutkan, ia hanya menjumpai pokok pohon ambai (rambai) sebagai pertanda. Sejak saat itu daerah tersebut dikenal dengan sebutan ambai, dan teuku dinisbatkan panggilannya untuk almarhum Teuku menjadi Datuk Di Rambai.

Atib kemudian menjadi tradisi ketika wabah penyakit, marabahaya mulai menyebar. Tahun 1853 merupakan lembaran sejarah yang kelam, wabah yang dalam dialek lokal disebut Taun (kolera dan muntaber) menyebar luas. Kemarau hingga setengah tahun, sumber air minum kerontang. Harimau dan buaya memakan manusia dengan pemukiman yang tidak berbatasan dengan hutan. Tidak sedikit yang memilih berpindah meninggalkan Kubu. Wabah yang kerap itu menyadarkan masyarakat akan sosok sang ulama yang telah tiada. Mereka terkenang pada karomah almarhum, di masa hidupnya semua musibah itu jarang terjadi. Masyarakat kembali merenungi jasa dan ajaran beliau untuk mengamalkan Islam dengan baik.

Mereka pun kerap berziarah, meskipun sebenarnya jasad badan atau makam sang ulama sudah tidak ditemukan lagi di mana persisnya karena lama tidak terurus. Penziarahan itu menandai titik balik penghargaan masyarakat pada peran ulama. Banyak menjadi ziarah sebagai salah satu bagian menyampaikan nazar. Secara simbolik bagi yang merasa nazarnya sampai mengikat kain hitam atau putih di salah satu sisi pondok yang diperkirakan sebagai makam Datuk Ambai.

Tanpa di-setting sebelumnya, lambat laun terciptalah kegiatan Atib (berzikir) dengan mengunakan but. Jalur transportasi satu-satunya antar wilayah yang melalui sungai mengkondisikan masyarakat mengunakan perahu sebagai fasilitas transportasi wajib. Perjalanan menuju lokasi makam dan sepulangnya, digunakan untuk berzikir di perahu masing-masing hingga hal itu menggejala. “Tidak tahu kapan persisnya atib secara massal. Bermula hanya diperkirpada tahun 1968 dan jelas merupakan tradisi lama,’’ kata Samuel.

Sebelumnya ritual Atib tidak saban tahun. Kadang lima atau sepuluh tahun sekali. Itupun kalau terjadi bala saja. Pada 1976 atas inisiatif masyarakat bersama seluruh penghulu dan tokoh agama pada masa kepemimpinan Camat Bahrum Leman BA ditetapkan pelaksanaan zikir saban tahun. ‘’Tiga atau empat hari setelah hari raya Idul Fitri. Tidak tergantung lagi apakah ada bala atau tidak,” tutur Samuel.

43 tahun lebih usia Atip Ambai dan rutenya tetap sama. Seluruh kepenghuluan mewakilkan setidaknya satu but yang mewakili kepenghuluan bergerak dari hulu sungai masing-masing menuju ke Sungai Ambai.

Setelah sampai di makam, berdoa lalu melanjutkan perjalanan ke Tanjung Lumba-lumba atau ujung Pulau Kubu. Ini menjadi simbolisasi sebagai membuang bala dari dalam negeri hingga ke ujung pulau. Hari itu, Sungai Kubu dipenuhi but dengan muatan penumpangnya. Setidaknya terdapat sekitar 50 but yang ikut, dengan beragam jumlah orang di dalamnya tergantung dari jenis dan besar kecilnya but. Bagi but standar yang bermesin Dompeng 12 PK, rata-rata berpenumpang hingga 100 orang. Namun but pengangkut kayu mampu menampung lebih banyak, lebih dari 300 orang sebaliknya jenis sampan layang hanya terisi maksimal lima orang saja.

Sepanjang sungai menuju ujung pulau gegap gempita dengan alunan zikir. Masing-masing but rata-rata di lengkapi dengan pengeras suara, mengikuti zikir yang dikomandani oleh panitia. Masyarakat yang tidak ikut terlibat, hanya bisa melihat penuh minat dari pinggir sungai. Ada pantangan yang tak tersurat dipegang teguh, para perempuan tidak boleh ikut. “Bahaya kalau ikut, lama-lama prosesi budaya yang luhur ini bisa tercemar,” kata Samuel.

Keteguhan mempertahankan keaslian budaya ini bertahan sekian lama, meski sudah mulai ada gejala akan tergerus, terutama melihat perilaku remaja. Mereka tidak begitu tertarik lagi mendalami latar historis dibelakang Atib Ambai. “Saya pergi ingin melihat, ambil meriahnya saja,” tukas Syamsul (21).

Penjual makanan dan minuman juga mulai terlihat di areal makam. Hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya. “Sejak dua tahun belakangan ini yang berjualan muncul. Tahun kemaren sudah kita larang, apa tidak bisa menghargai tradisi kita di sini,” tegur Samuel.

Bukan tanpa alasan, selain dikhwatirkan menimbulkan kerumunan muda-mudi, ada satu pantangan yang harus dipatuhi. Bagi yang sampai di Sungai Ambai harus ikut kegiatan sampai dengan selesai. Riau Pos, pada hari yang sama ketika terlibat, begitu menaiki but pada akhirnya pun mengikuti ritual yang sama hingga selesai menjelang sore. “Dulu pernah ada yang berhenti di tengah jalan, atau menaik turunkan peserta dan akibatnya fatal. Yang bersangkutan meninggal dunia seketika,” kata Samuel.

Periode ini adalah transisi penting, untuk melihat sejauh mana keteguhan adat itu bertahan. Begitu zikir terhenti di dalam ruangan makam itu, dilanjutkan dengan obang (lantunan azan) bergantian antara Jamhur dan khalifah Umar. Selesai obang, peserta kembali ke but masing-masing menuju Tanjung Lumba-lumba, tempat pemberhentian terakhir.

Keberangkatan dimulai lagi pukul 10.30 WIB. Mesin yang berisik, bau asap knalpot, air asin dan panas menyengat terik. Kali ini pun, tetap bukan perjalanan yang romantis. Terutama bagi orang para tetua yang sudah sepuh. Hanya kekuatan hati yang membuat mereka kukuh.

Jam 14.00 WIB kurang, sesampainya di Tanjung Lumba-lumba seluruh but berhenti, sebagian melemparkan sauh yang lainnya mengikatkan sampan pada ujung dahan pohon terdekat. Pemandangan di sungai yang dipenuhi dengan but bukanlah pemandangan yang biasa, sementara zikir terus bersahutan dan berjeda untuk melaksanakan salat dan makan. Penutupan atib ditandai dengan obang sekali lagi, persis seperti diawal obang dilantunkan berdua secara bergantian tapi kali ini dilakukan di atas but.

Jarum jam menunjukkan pukul 16.00 ketika obang selesai dan ditutup dengan pembacaan doa. Akhir prosesi, seluruh but bergerak kembali pulang menuju ke tempat masing-masing.

Saat tiba di dermaga pelabuhan Simpang Pelita, Kubu, matahari telah senja. Itu menandakan pergantian waktu dan perubahan yang tak terelakkan. Tapi Atib Ambai prosesi budaya -jelas menandakan keteguhan hati uwang (orang) Kubu yang tak tergantikan dalam mempertahankan agama, adat dan nilai yang diwariskan leluhur. (esi/rpg)

2 comments:

  1. sega saja tradisi dari leluhur ini bisa berkelanjutan sampai generasi seterusnya, dan bisa menjadi budaya bagi masyarakat kubu pada umumnya, dan memberikan pandangan fositif,.....

    ReplyDelete